Laman

Senin, 10 Juni 2013

Analisis Teori Tentang Anak Jalanan dan Teori Tentang Tawuran


Pendidikan IPS 2
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas individu pada mata kulah pendidikan IPS 2


Di Susun oleh,
ALFISKA OKTAYATI
06 316 1111 046
PGSD B


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
Jln. R.Syamsudin, SH. No.50 Sukabumi Telp.(0266) 218345 Fax.(0266) 218345
Website: www.ummi.ac.id E-Mail :info ummi@yahoo.com
A.  Analisis Teori Tentang Anak Jalanan
1.      Konsep Anak Jalanan
Anak yang berusia 5–18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliarandi jalanan maupun ditempat – tempat umum. Kriteria :
·         Anak ( laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun.
·         Melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau ditempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu, seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar dan lain-lain.
·         Kegiatan dapat membahayakan dirinya sendiri atau menggangu ketertiban umum.

2.      Konsep Keluarga
Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi, (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi. Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
Membicarakan anak jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang kehidupan ekonominya lemah dan pekerjaannya berat. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan yang penuh dengan kemiskinan, penganiayaan, dan kehilangan rasa kasih sayang. Hal ini cenderung membuat mereka berperilaku negatif dan tidak mematuhi aturan. Seperti teori yang dikemukan oleh Charles H. Cooley tentang “self concept”, teori ini menjelaskan bahwa seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada anak – anak jalanan, mereka tumbuh disekitar orang – orang yang tidak memiliki norma yang sempurna sehingga mereka anak jalanan akan menjadi seperti orang dengan siapa mereka sering berinteraksi.
Seorang anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan oleh banyak hal. Penganiayaan kepada anak merupakan salah satu penyebab utama anak menjadi anak jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka. Lain daripada itu, pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Kondisi anak-anak yang kian terpuruk hanya teramati dari tampilan fisiknya saja. Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang memprihatinkan, bahkan kadang-kadang lebih dahsyat. Kondisi ini disebabkan oleh makin rumitnya krisis di Indonesia : krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai krisis lainnya.
Konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan, bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Anak jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah.
Menurut M. Ishaq (2000), ada tiga kategori kegiatan anak jalanan yakni, mencari kepuasan, mencari nafkah, tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan ini disebabkan oleh keadaan kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga yang bermasalah membuat anak-anak ini yang kekurangan gizi dan kasih sayang. Pada tulisan ini penulis lebih memfokuskan kepada kegiatan anak jalanan yang kedua yaitu “ mencari nafkah”.
Anak jalanan ini ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya. Di antara anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota.


B.     Analisis Teori Tentang Tawuran
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tawuran bisa terjadi. Diantaranya :
1.            Faktor Internal
§  Mudah dipengaruhi teman
§  Solidaritas Kelompok (Peer Group)
§  Nyali yang tinggi
§  Belum bisa mengontrol emosional
§  Menghilangkan rasa bosan / stress
§  Ingin menyatakan diri bahwa ia “sudah dewasa”
§  Kurang penghayatan terhadap agama
§  Agar diterima dalam suatu kelompok
§  Tidak berada dalam pengawasan diri dari orang tua
§  Kontrol diri sangat minim
§  Suka mencari sensasi dari hal-hal yang negative
       2.      Faktor Eksternal
a.       Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Usia remaja juga merupakan masa pencarian identitas diri. Ketika komunikasinya dengan orang tua tidak terjalin dengan baik, maka penghargaan anak terhadap orang tua pun menjadi berkurang. Akibatnya, apapun nasehat dari orang tua tidak didengarkan. Selain itu, orang tua yang terlalu otoriter juga menjadi salah satu penyebab anak justru mencari kepuasan dirinya dengan melakukan hal-hal negative dan ia menjadi mudah terpengaruh oleh lingkungan yang justru mendukung perilaku nya.

b.      Lingkungan Pergaulan
Lingkungan teman sebaya (peer educator) juga sangat menentukan. Karena mayoritas waktu kita dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Apalagi jika kita mendapat pengakuan lebih dari Peer Educator dibandingkan dengan keluarga.
c.       Sekolah
Suasana sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar juga akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Seringnya, guru malah lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan. Bahkan otoriter dan seringkali menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk yang berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru dan sistem yang ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam berperilaku. Selain itu, pengawasan dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan. Pihak sekolah harus lebih peka terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa sehingga dapat cepat ditindak. Pembelajaran tentang agama pun harus lebih ditingkatkan. Setidaknya pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus diselesaikan dengan cara tawuran.
d.      Kebijakan Pemerintah
Adanya kebijakan dan pengambilan keputusan yang salah dari pemerintahan pusat kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kurikulum yang ditetapkan pemerintah juga turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal ini disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam kurikulum yang telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
e.       Faktor Lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional.


f.       Alumni
Alumni juga merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi. Selain itu, ada beberapa siswa yang merasa tertekan dengan doktrin beberapa alumni yang mengatakan bahwa tawuran merupakan adat turun temurun dan diannggap sebagai angkatan yang cupu kalau tidak dilakukan lagi.
g.      Peraturan Perundang-Undangan
Perundang-undangan yang lemah juga dapat memicu timbulnya tawuran, karena mereka merasa aman ketika bersama-sama melakukan tindak kriminal. Tidak ada rasa takut lagi karena mereka fikir akan sangat panjang jika masalah tawuran ini dibawa ke jalur hukum. Dan mereka akan merasa terlindungi karena melakukan tawuran itu tidak sendiri-sendiri melainkan banyak orang yang terlibat.
v  Teori Yang Berkaitan dengan Tawuran
1)      Teori Belajar Sosial
Teori ini berasumsi bahwa tingkah laku manusia dapat dipelajari selama adanya interaksi dengan orang lain dan dengan lingkungan sosialnya. Dalam teori ini disebutkan bahwa ada proses biologis dan psikologis seseorang yang akan mempengaruhi emosi dan pikirannya. Teori belajar sosial memandang bahwa perilaku individu tidak semata - mata dilakukan karena adanya stimulus. Melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan ( imitation ) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Melalui pemberian reward and punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari interaksi antara manusia dengan lingkungan, dan sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri. Perilaku timbul karena adanya interaksi antara lingkungan dengan individu. Perilaku timbul bukan karena semata - mata refleks otomatis melainkan juga akibat reaksi yang timbul dari hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu. Apabila perilaku itu bersifat baik maka akan menimbulkan norma dan moral yang baik. Begitu juga sebaliknya.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tawuran ini ada pengaruh dari aspek eksternal. Pengaruh dari aspek eksternal ini yang akhirnya dijadikan individu sebagai sebuah pembelajaran bagi tumbuh kembang perilaku dan kognitif mereka. Ketika lingkungan memberikan input yang baik pada seorang individu, maka secara tidak langsung individu tersebut akan belajar hal-hal yang baik dari lingkungan. Sementara sebaliknya, bila individu mendapat pengaruh yang buruk dari lingkungan, individu juga akan belajar. Contoh kecilnya adalah keluarga. Ketika keluarga sering ribut atau sering terjadi KDRT, maka anak akan merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya. Maka wajar jika anak-anak yang sudah biasa hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan akan juga melakukan kekerasan seperti contohnya tawuran. Ia akan merasa bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seseorang.
2)      Teori Frustasi – Agresi
Teori Frustrasi-Agresi atau Hipotesis Frustrasi-Agresi (frustration-Aggression Hypothesi) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa tindakan tawuran ini juga dipengaruhi oleh aspek Internal individu. Ketika individu merasa adanya tekanan dalam dirinya dan tidak ada penyaluran, maka tawuran lah yang menjadi salah satu penyaluran bagi perilaku seorang individu. Contohnya ketika seorang individu kalah dalam suatu pertandingan (ia mendapat hambatan ketika mencapai tujuannya), maka akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi perilakunya untuk melukai orang. Salah satu caranya ialah dengan tawuran.
Begitu juga ketika seorang individu merasa tertekan, tidak ada keluarga yang mengawasi dan melindunginya dengan baik, maka individu cenderung mengikuti apa yang teman sebayanya lakukan. Seperti ketika teman sebayanya mengajak untuk tawuran, maka kontrol diri dari individu tersebut akan lemah dan ia akan cenderung mudah dipengaruhi.
3)      Teori Ekologi
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik. Berbicara mengenai kualitas fisik, Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. (Tawuran dapat juga dipengaruhi oleh kualitas lingkungan. Misalnya ketika jarak sekolah yang terlalu berdekatan, sementara lingkungan sekitar tidak nyaman (contoh : bisingnya kendaraan bermotor, adanya terminal, orang berdesakan, dsb) sehingga menyebabkan emosi masing-masing individu lebih mudah terpancing.
Selain itu, kualitas lingkungan yang nyaman dapat membuat pelajaran yang diterima di sekolah dengan mudah masuk dan diterima. Apalagi bila di sekitar lingkungan sekolah terdapat fasilitas belajar yang memadai. Misalnya dekat dengan perpustakaan, taman kota, atau tempat-tempat yang bisa dipakai untuk refreshing. Hal itu akan jauh berbeda dampaknya dibandingkan dengan sekolah yang dekat dengan terminal misalnya. Pulang dari sekolah, mereka nongkrong, merokok, dan dipaksa untuk melihat kekerasan sosial yang terjadi di sekitar sekolah mereka. Hal ini yang juga menyebabkan akhirnya perilaku dan mindset mereka terbentuk oleh lingkungan di sekitar sekolah.










Daftar Pustaka
JELY AGRI FAMELA 1:15 AM
bocahjalanan 04.26
mE aNd My Life ,, 06.55

http://www.bnpjatim.com/kebiasaan-ngelem-bisa-bikin-mati-mendadak-2.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar