Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas
individu pada mata kulah pendidikan IPS 2
Di Susun oleh,
ALFISKA OKTAYATI
06 316 1111 046
PGSD B
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUKABUMI
Jln.
R.Syamsudin, SH. No.50 Sukabumi Telp.(0266) 218345 Fax.(0266) 218345
A. Analisis Teori Tentang Anak Jalanan
1. Konsep
Anak Jalanan
Anak yang berusia 5–18 tahun yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliarandi jalanan
maupun ditempat – tempat umum. Kriteria :
·
Anak
( laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun.
·
Melakukan
kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan
atau ditempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu,
seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa
belanjaan di pasar dan lain-lain.
·
Kegiatan
dapat membahayakan dirinya sendiri atau menggangu ketertiban umum.
2. Konsep
Keluarga
Keluarga
adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat
oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan.
Secara umum keluarga memiliki fungsi, (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c)
edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi. Pemberdayaan (empowerment)
adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran
masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan
keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan
distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya.
Membicarakan anak jalanan, umumnya
mereka berasal dari keluarga yang kehidupan ekonominya lemah dan pekerjaannya
berat. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan
jalanan yang penuh dengan kemiskinan, penganiayaan, dan kehilangan rasa kasih
sayang. Hal ini cenderung membuat mereka berperilaku negatif dan tidak mematuhi
aturan. Seperti teori yang dikemukan oleh Charles
H. Cooley tentang “self concept”,
teori ini menjelaskan bahwa seseorang berkembang melalui interaksinya dengan
orang lain. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada anak – anak jalanan,
mereka tumbuh disekitar orang – orang yang tidak memiliki norma yang sempurna
sehingga mereka anak jalanan akan menjadi seperti orang dengan siapa mereka
sering berinteraksi.
Seorang anak yang terhempas dari
keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan oleh banyak hal.
Penganiayaan kepada anak merupakan salah satu penyebab utama anak menjadi anak
jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka. Lain daripada itu,
pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan
ekonominya lemah. Kondisi anak-anak yang kian terpuruk hanya teramati dari
tampilan fisiknya saja. Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang
memprihatinkan, bahkan kadang-kadang lebih dahsyat. Kondisi ini disebabkan oleh
makin rumitnya krisis di Indonesia : krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai
krisis lainnya.
Konvensi hak anak-anak yang
dicetuskan oleh PBB (Convention on the
Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,
menyatakan, bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka
mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Anak jalanan adalah anak yang
terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari
oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka perlu diberdayakan melalui
demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum,
partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah.
Menurut M. Ishaq (2000), ada
tiga kategori kegiatan anak jalanan yakni, mencari kepuasan, mencari nafkah,
tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan ini disebabkan oleh keadaan kota yang
padat penduduknya dan banyak keluarga yang bermasalah membuat anak-anak ini
yang kekurangan gizi dan kasih sayang. Pada tulisan ini penulis lebih
memfokuskan kepada kegiatan anak jalanan yang kedua yaitu “ mencari nafkah”.
Anak jalanan ini ada yang tinggal di
kota setempat, di kota lain terdekat, atau di propinsi lain. Ada anak jalanan
yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena
pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama
keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat
keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau
bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya. Di antara anak-anak jalanan,
sebagian ada yang sering berpindah antar kota.
B. Analisis
Teori Tentang Tawuran
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan tawuran bisa terjadi. Diantaranya :
1.
Faktor Internal
§ Mudah
dipengaruhi teman
§ Solidaritas
Kelompok (Peer Group)
§ Nyali yang
tinggi
§ Belum bisa
mengontrol emosional
§ Menghilangkan
rasa bosan / stress
§ Ingin
menyatakan diri bahwa ia “sudah dewasa”
§ Kurang
penghayatan terhadap agama
§ Agar diterima
dalam suatu kelompok
§ Tidak berada
dalam pengawasan diri dari orang tua
§ Kontrol diri
sangat minim
§ Suka mencari
sensasi dari hal-hal yang negative
2. Faktor Eksternal
a.
Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan
(entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak,
ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya,
orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai
individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang
unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara
total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Usia remaja juga merupakan masa pencarian identitas diri.
Ketika komunikasinya dengan orang tua tidak terjalin dengan baik, maka
penghargaan anak terhadap orang tua pun menjadi berkurang. Akibatnya, apapun
nasehat dari orang tua tidak didengarkan. Selain itu, orang tua yang terlalu
otoriter juga menjadi salah satu penyebab anak justru mencari kepuasan dirinya
dengan melakukan hal-hal negative dan ia menjadi mudah terpengaruh oleh
lingkungan yang justru mendukung perilaku nya.
b.
Lingkungan
Pergaulan
Lingkungan teman sebaya (peer
educator) juga sangat menentukan. Karena mayoritas waktu kita dihabiskan
bersama dengan teman sebaya. Apalagi jika kita mendapat pengakuan lebih dari Peer Educator dibandingkan dengan
keluarga.
c.
Sekolah
Suasana sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar
juga akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah
bersama teman-temannya. Seringnya, guru malah lebih berperan sebagai penghukum
dan pelaksana aturan. Bahkan otoriter dan seringkali menggunakan cara kekerasan
(walau dalam bentuk yang berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat
yang nyaman untuk siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru
dan sistem yang ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam
berperilaku. Selain itu, pengawasan dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan.
Pihak sekolah harus lebih peka terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa
sehingga dapat cepat ditindak. Pembelajaran tentang agama pun harus lebih
ditingkatkan. Setidaknya pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus
diselesaikan dengan cara tawuran.
d.
Kebijakan
Pemerintah
Adanya kebijakan dan pengambilan keputusan
yang salah dari pemerintahan pusat kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kurikulum yang ditetapkan pemerintah juga
turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal ini disebabkan karena
para pelajar merasa terkekang dalam kurikulum yang telah mengeksploitasi waktu
serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari
aturan-aturan tersebut dengan melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
e.
Faktor
Lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah
yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota
(bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk
belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional.
f.
Alumni
Alumni juga merupakan salah satu faktor yang tidak bisa
dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar
pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan
suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang
pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap
kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi. Selain itu, ada beberapa siswa yang
merasa tertekan dengan doktrin beberapa alumni yang mengatakan bahwa tawuran
merupakan adat turun temurun dan diannggap sebagai angkatan yang cupu kalau tidak dilakukan lagi.
g.
Peraturan
Perundang-Undangan
Perundang-undangan yang lemah juga dapat memicu timbulnya
tawuran, karena mereka merasa aman ketika bersama-sama melakukan tindak
kriminal. Tidak ada rasa takut lagi karena mereka fikir akan sangat panjang
jika masalah tawuran ini dibawa ke jalur hukum. Dan mereka akan merasa
terlindungi karena melakukan tawuran itu tidak sendiri-sendiri melainkan banyak
orang yang terlibat.
v Teori Yang Berkaitan dengan Tawuran
1)
Teori Belajar Sosial
Teori ini berasumsi bahwa tingkah laku manusia dapat
dipelajari selama adanya interaksi dengan orang lain dan dengan lingkungan
sosialnya. Dalam teori ini disebutkan bahwa ada proses biologis dan psikologis
seseorang yang akan mempengaruhi emosi dan pikirannya. Teori belajar
sosial memandang bahwa
perilaku
individu tidak semata - mata dilakukan
karena adanya stimulus. Melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu
sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari
individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (
imitation ) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Melalui pemberian reward and punishment, seorang individu
akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak
lepas dari interaksi antara manusia dengan lingkungan, dan sebagai makhluk
sosial manusia tidak dapat hidup sendiri. Perilaku timbul karena adanya
interaksi antara lingkungan dengan individu. Perilaku timbul bukan karena
semata - mata refleks otomatis melainkan juga akibat reaksi yang timbul dari
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu. Apabila
perilaku itu bersifat baik maka akan menimbulkan norma dan moral yang baik.
Begitu juga sebaliknya.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tawuran ini
ada pengaruh dari aspek eksternal. Pengaruh dari aspek eksternal ini yang
akhirnya dijadikan individu sebagai sebuah pembelajaran bagi tumbuh kembang
perilaku dan kognitif mereka. Ketika lingkungan memberikan input yang baik pada
seorang individu, maka secara tidak langsung individu tersebut akan belajar
hal-hal yang baik dari lingkungan. Sementara sebaliknya, bila individu mendapat
pengaruh yang buruk dari lingkungan, individu juga akan belajar. Contoh
kecilnya adalah keluarga. Ketika keluarga sering ribut atau sering terjadi
KDRT, maka anak akan merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya. Maka
wajar jika anak-anak yang sudah biasa hidup di lingkungan yang penuh dengan
kekerasan akan juga melakukan kekerasan seperti contohnya tawuran. Ia akan merasa
bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seseorang.
2)
Teori Frustasi – Agresi
Teori Frustrasi-Agresi atau Hipotesis Frustrasi-Agresi
(frustration-Aggression Hypothesi)
berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan, akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan
frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi
bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup
universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa tindakan tawuran
ini juga dipengaruhi oleh aspek Internal individu. Ketika individu merasa
adanya tekanan dalam dirinya dan tidak ada penyaluran, maka tawuran lah yang
menjadi salah satu penyaluran bagi perilaku seorang individu. Contohnya ketika
seorang individu kalah dalam suatu pertandingan (ia mendapat hambatan ketika
mencapai tujuannya), maka akan timbul dorongan agresif pada dirinya yang akan
memotivasi perilakunya untuk melukai orang. Salah satu caranya ialah dengan
tawuran.
Begitu juga ketika seorang individu merasa tertekan, tidak
ada keluarga yang mengawasi dan melindunginya dengan baik, maka individu
cenderung mengikuti apa yang teman sebayanya lakukan. Seperti ketika teman
sebayanya mengajak untuk tawuran, maka kontrol diri dari individu tersebut akan
lemah dan ia akan cenderung mudah dipengaruhi.
3)
Teori Ekologi
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang
diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi
positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas
Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik. Berbicara mengenai
kualitas fisik, Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa
kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur,
kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998),
keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para
penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan
polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan
efek perilaku. (Tawuran dapat juga dipengaruhi oleh kualitas lingkungan.
Misalnya ketika jarak sekolah yang terlalu berdekatan, sementara lingkungan
sekitar tidak nyaman (contoh : bisingnya kendaraan bermotor, adanya terminal,
orang berdesakan, dsb) sehingga menyebabkan emosi masing-masing individu lebih
mudah terpancing.
Selain itu, kualitas lingkungan yang nyaman dapat membuat
pelajaran yang diterima di sekolah dengan mudah masuk dan diterima. Apalagi
bila di sekitar lingkungan sekolah terdapat fasilitas belajar yang memadai.
Misalnya dekat dengan perpustakaan, taman kota, atau tempat-tempat yang bisa
dipakai untuk refreshing. Hal itu akan jauh berbeda dampaknya dibandingkan
dengan sekolah yang dekat dengan terminal misalnya. Pulang dari sekolah, mereka
nongkrong, merokok, dan dipaksa untuk melihat kekerasan sosial yang terjadi di
sekitar sekolah mereka. Hal ini yang juga menyebabkan akhirnya perilaku dan mindset mereka terbentuk oleh lingkungan
di sekitar sekolah.
Daftar Pustaka
http://www.bnpjatim.com/kebiasaan-ngelem-bisa-bikin-mati-mendadak-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar